BAB II
LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
Landasan
pengembangan kurikulum dapat menjadi titik tolak sekaligus titik sampai. Titik
tolak berarti pengembangan kurikulum dapat didorong oleh pembaharuan tertrntu
seperti penemuan toeri belajar yang baru dan perubahan tuntutan masyarakat
terhadap fungsi sekolah. Titik sampai berarti kurikulum harus dikembangkan
sedemikian rupa sehingga dapat merealisasi perkembangan tertentu, seperti impak
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tuntutan tuntutan sejarah masa lalu,
perbedaan latar belakang murid, nilai-nilai filsafat suatu masyarakat, dan
tuntutan-tuntutan kultur tertentu.[1]
Suatu bangunan
kurikulum memiliki empat komponen yaitu komponen tujuan, isi/materi, proses
pembelajaran, dan komponen evaluasi, maka agar setiap komponen bisa menjalankan
fungsinya secara tepat dan bersinergi, maka perlu ditopang oleh sejumlah
landasan yaitu landasan filosofis sebagai landasan utama, masyarakat dan
kebudayaan, individu (peserta didik), dan teori-teori belajar (psikologis).
Dalam pembahasan ini akan membahas tentang landasan
teologis,filosofis,psikologis,teoretik dan sosiologis kurikulum.
A.
Landasan Teoritik Kurikulum
1.
Landasan Yuridis
Kurikulum pada dasaranya adalah
produk yuridis yang ditetapkan melalui keputusan menteri Pendidikan Nasional
RI. Sebagai pengejawantahan dari kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh
lembaga legislatif yang mestinya mendasarkan pada konstitusi/UUD. Dengan
demikian landasan yuridis pengembangan kurikulum di NKRI ini adalah UUD 1945
(pembukaan alinia IV dan pasal 31), peraturan-peraturan perundangan seperti: UU
tentang pendidikan (UU No.20 Tahun 2003), UU Otonomi Daerah, Surat Keputusan
dari Menteri Pendidikan, Surat Keputusan dari Dirjen Dikti, peraturan-peraturan
daerah dan sebagainya.
2. Landasan Historis
Landasan Historis berkaitan dengan
formulasi program-program sekolah pada waktu lampau yang masih hidup sampai
sekarang, atau yang pengaruhnya masih besar pada kurikulum saat ini (Johnson,
1968). Oleh karena kurikulum selalu perlu disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan dan perkembangan zaman, maka perkembangan kurikulum pada
suatu saat tertentu diadakan untuk memenuhi tuntutan dan perkembangan pada
waktu tertentu.
Kurikulum yang dikembangkan pada
saat ini, perlu mempertimbangkan apa yang telah dilakukan dan apa yang telah
kita capai melalui kurikulum sebelumnya. Begitu pula selanjutnya, kita perlu
mempertimbangkan kurikulum yang yang ada sekarang waktu mengembangkan kurikulum
di masa depan, karena apa yang telah kita lakukan sekarang akan berpengaruh
terhadap kurikulum yang akan dikembangkan di masa depan.
3. Landasan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK)
Ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah produk dari kebudayaan. Kebudayaan manusia
yang terkait dengan ilmu dan teknologi pada saat ini telah mencapai tingkat
yang sangat tinggi.Kemajuan ilmu dan teknologi sudah sampai ke taraf yang
dikatakan sebagai eksplosi (ledakan). Oleh karena itu,perlu dilakukan seleksi
yang mendalam tentang apa yang patut dan apa yang tidak patut disampaikan
kepada anak didik di sekolah, sehingga kurikulum dapat mengantarkan anak didik
untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang paling mendasar untuk dimiliki sebagai
bekal hidup.[2]
Untuk mencapai
tujuan dan kemampuan- kemampuan siswa dalam menghadapi ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka ada hal-hal yang dijadikan sebagai dasar, yakni:
a. Pembangunan IPTEK harus berada dalam
keseimbangan yang dinamis dan efektif dengan pembinaan sumber daya manusia,
pengembangan sarana dan prasarana iptek, pelaksanaan dan penelitian dan
pengembangan serta rekayasa dan produksi barang dan jasa.
b. Pembangunan IPTEK tertuju pada peningkatan
kualitas, yakni untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan dan kehidupan bangsa.
c. Pembangunan IPTEK harus selaras
(relevan) dengan nilai-nilai agama, nilai luhur budaya bangsa, kondisi sosial
budaya, dan lingkungan hidup.
d. Pembangunan IPTEK harus berpijak
pada upaya peningkatan produktivitas, efesiensi dan efektivitas penelitian dan
pengembangan yang lebih tinggi.
e. Pembangunan IPTEK berdasarkan pada
asas pemanfaatannya yang memberikan nilai tambah dan memberikan pemecahan
masalah konkret dalam pembangunan.
Penguasaan, pemanfaatan, dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dilaksanakan oleh berbagai pihak,
yakni:
a. Pemerintah, yang mengembangkan dan
memanfaatkan IPTEK untuk menunjang pembangunan dalam segala bidang.
b. Masyarakat, yang memanfaatkan IPTEK
itu pengembangan masyarakat dan mengembangakannya secara swadaya.
c. Akademisi terutama di lingkungan
perguruan tinggi, mengembangkan IPTEK untuk disumbangkan kepada pembangunan.
d. Pengusaha, untuk meningkatkan
produktivitas.
Mengingat pendidikan merupakan upaya
menyiapkan siswa menghadapi masa depan dan perubahan masyarakat yang semakin
pesat termasuk di dalamnya perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka
pengembangan kurikulum haruslah berlandaskan ilmu pengetahuan dan teknologi.
B.
Landasan
Filosofis
Landasan filosofis dalam
pengembangan kurikulum ialah rumusan yang didapatkan dari hasil berpikir secara
mendalam, analisis, logis, sistematis dalam merencanakan, melaksanakan, membina
dan mengembangkan kurikulum baik dalam bentuk kurikulum sebagai rencana
(tertulis), terlebih kurikulum dalam bentuk pelaksanaan di sekolah.
1. Filsafat Pendidikan
Filsafat berupaya mengkaji berbagai
permasalahan yang dihadapai manusia, termasuk masalah pendidikan.
Pendidikan sebagai ilmu terapan, tentu saja memerlukan ilmu-ilmu lain sebagai
penunjang, di antaranya filsafat. Filsafat pendidikan pada dasarnya adalah
penerapan dan pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah
pendidikan. Menurut Redja Mudyahardjo (1989), terdapat tiga sistem pemikiran
filsafat yang sangat besar pengaruhnya dalam pemikiran pendidikan pada umumnya
dan pendidikan di Indonesia pada khususnya, yaitu : filsafat idealisme,
realisme dan filsafat fragmatisme.
2. Filsafat dan Tujuan Pendidikan
Bidang telaahan filsafat pada
awalnya mempersoalkan siapa manusia itu? Kajian terhadap persoalan ini berupaya
untuk menelusuri hakikat manusia, sehingga muncul beberapa asumsi tentang
manusia. Misalnya manusia adalah makhluk religius, makhluk sosial, makhluk yang
berbudaya, dan lain sebagainya. Dari beberapa telaahan tersebut filsafat
mencoba menelaah tentang tiga pokok persoalan, yaitu hakikat benar-salah
(logika), hakikat baik-buruk (etika), dan hakikat indah-jelek (estetika). Oleh
karena itu maka ketiga pandangan tersebut sangat dibutuhkan dalam pendidikan.
Terutama dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan. Artinya ke mana
pendidikan akan dibawa, terlebih dahulu harus ada kejelasan pandangan hidup manusia
atau tentang hidup dan eksistensinya.
Filsafat akan menentukan arah kemana
peserta didik akan dibawa, filsafat merupakan perangkat nilai-nilai yang
melandasi dan membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu,
filsafat yang dianut oleh suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu atau
bahkan yang dianut oleh perorangan akan sangat mempengaruhi terhadap tujuan
pendidikan yang ingin dicapai.
Tujuan pendidikan nasional di
Indonesia tentu saja bersumber pada pandangan dan cara hidup manusia Indonesia,
yakni Pancasila. Hal ini berarti bahwa pendidikan di Indonesia harus membawa
peserta didik agar menjadi manusia yang berPancasila. Dengan kata lain,
landasan dan arah yang ingin diwujudkan oleh pendidikan di Indonesia adalah
yang sesuai dengan kandungan falsafah Pancasila itu sendiri.
Sebagai implikasi dari nilai-nilai
filsafat Pancasila yang dianut bangsa Indonesia, dicerminkan dalam rumusan
tujuan pendidikan nasional seperti terdapat dalam UU No.20 Tahun 2003, yaitu :
Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadimanusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 2 dan 3). Dalam rumusan
tujuan pendidikan nasional tersebut, tersurat dan tersirat nilai-nilai yang
terkandung dalam rumusan Pancasila.
Melalui rumusan tujuan pendidikan
nasional di atas, sudah jelas tergambar bahwa peserta didikyang ingin
dihasilkan oleh sistem pendidikan kita antara lain adalah untuk melahirkan
manusia yang beriman, bertaqwa, berilmu dan beramal dalam kondisi yang serasi,
selaras dan seimbang. Di sinilah pentingnya filsafat sebagai pandangan hidup
manusia dalam hubunganya dengan pendidikan dan pembelajaran.
3. Kurikulum dan Filsafat Pendidikan
Kurikulum pada hakikatnya adalah
alat untuk mencapai tujuan pendidikan, karena tujuan pendidikan sangat
dipengaruhi oleh filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa, maka tentu saja
kurikulum yang dikembangkan juga akan mencerminkan falsafah/pandangan hidup
yang dianut oleh bangsa tersebut oleh karena itu terdapat hubungan yang sangat
erat antara kurikulum pendidikan di suatu negara dengan filsafat negara yang
dianutnya. Sebagai contoh, Indonesia pada masa penjajahan Belanda, kurikulum
yang dianut pada masa itu sangat berorientasi pada kepentingan politik Belanda.
Demikian pula pada saat negara kita dijajah Jepang, maka orientasi kurikulum
berpindah yaitu disesuaikan dengan kepentingan dan sistem nilai yang dianut
oleh negara Matahari Terbit itu. Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, dan
secara bulat dan utuh menggunakan pancasila sebagai dasar dan falsafah dalam
berbangsa dan bernegara, maka kurikulum pendidikan pun disesuaikan dengan
nilai-nilai pancasila itu sendiri.
Pengembangan kurikulum walaupun pada
tahap awal sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ideologi negara, namun tidak
berarti bahwa kurikulum bersifat statis, melainkan senantiasa memerluka
pengembangan, pembaharuan dan penyempurnaan disesuaikan dengan kebutuhan dan
tuntutan dan perkembangan zaman yang senantiasa cepat berubah.
C.
Landasan
Psikologis
Penerapan landasan psikologi dalam
pengembangan kurikulum, tiada lain agar upaya pendidikan yang dilakukan dapat
menyesuaikan dari segi materi atau bahan yang harus disampaikan, penyesuaian
dari segi proses penyampaian atau pembelajarannya, dan penyesuaian dari
unsur-unsur upaya pendidikan lainnya.
1. Perkembangan Peserta Didik dan
Kurikulum
Anak sejak dilahirkan sudah
memperlihatkan keunikan-keunikan, seperti pernyataan dirinya dalam bentuk
tangisan atau gerakan-gerakan tertentu. Hal ini memberikan gambaran bahwa
sebenarnya sejak lahir anak telah memiliki potensi untuk berkembang. Bagi
aliran yang sangat percaya dengan kondisi tersebut sering menganggap anak
sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil. J.J.Rousseau, seorang ahli pendidikan bangsa Perancis, termasuk
yang fanatik berpandangan seperti itu. Dewasa dalam bentuk kecil mengandung
makna bahwa anak itu belum sepenuhya memiliki potensi yang diperlukan bagi
penyesuaian diri terhadap lingkungannya, ia masih memerlukan bantuan untuk
berkembang ke arah kedewasaan yang sempurna, Rousseau memberi tekanan kepada
kebebasan berkembang secara mulus menjadi orang dewasa yang diharapkan.
Pendapat lain mengatakan bahwa
perkembangan anak itu adalah hasil dari pengaruh lingkungan. Anak dianggap
sebagai kertas putih, di mana orang-orang di sekelilingnya dapat bebas menulis
kertas tersebut. Pandangan ini bertentangan dengan pandangan di atas, di mana
justru aspek-aspek di luar anak/lingkungannya lebih banyak mempengaruhi
perkembangan anak menjadi individu yang dewasa. Pandangan ini sering disebut teori Tabularasa dengan tokohnya yaitu
John Locke.
Selain kedua pandangan tersebut,
terdapat pandangan yang menyebutkan bahwa perkembangan anak itu merupakan hasil
perpaduan antara pembawaan dan lingkungan. Aliran ini mengakui akan kodrat
manusia yang memiliki potensi sejak lahir, namun potensi ini akan berkembang
menjadi baik dan sempurna berkat pengaruh lingkungan. Aliran ini disebut aliran
konvergensi dengan tokohnya yaitu William
Stern. Pandangan yang terakhir ini dikembangkan lagi oleh Havighurst dengan teorinya tentang
tugas-tugas perkembangan (developmental tasks). Tugas-tugas perkembangan
yang dimaksud adalah tugas yang secara nyata harus dipenuhi oleh setiap
anak/individu sesuai dengan taraf/tingkat perkembangan yang dituntut oleh
lingkungannya. Apabila tugas-tugas itu tidak terpenuhi, maka pada taraf
perkembangan berikutnya anak/individu tersebut akan mengalami masalah.
Melalui tugas-tugas ini, anak akan
berkembang dengan baik dan beroperasi secara kumulatif dari yang sederhana
menuju ke arah yang lebih kompleks. Namun demikian, objek penelitian yang
dilakukan oleh Havighurst adalah anak-anak Amerika, jadi kebenarannya masih
perlu diteliti dan dikaji dengan cermat disesuaikan dengan anak-anak Indonesia
yang memiliki kondisi lingkungan yang berbeda. Pandangan tentang anak sebagai
makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum
pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan
disamping persamaannya.
Implikasi dari hal tersebut terhadap
pengembangan kurikulum yaitu :
a. Setiap anak diberi kesempatan untuk
berkembang sesuai dengan bakat, minat dan kebutuhannya.
b. Di samping disediakan pelajaran yang
sifatnya umum (program inti) yang wajib dipelajari setiap anak di sekolah,
disediakan pula pelajaran pilihan yang sesuai dengan minat anak.
c. Kurikulum disamping menyediakan
bahan ajar yang bersifat kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat
akademik. Bagi anak yang berbakat di bidang akademik diberi kesempatan untuk
melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya.
d. Kurikulum memuat tujuan-tujuan yang
mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan keterampilan yang menggambarkan
keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan batin.
2. Psikologi Belajar dan Kurikulum
Psikologi belajar merupakan suatu
cabang bagaimana individu belajar. Belajar bisa diartikan sebagai perubahan
perilaku yang terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan perilaku baik yang
berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor dan terjadi karena
prosespengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar.
Perubahan-perubahan perilaku yang terjadi secara insting atau terjadi karena
kematangan, atau perilaku yang terjadi secara kebetulan, tidak termasuk
belajar. Mengetahui tentang psikologi/teori belajar merupakan bekal bagi para
guru dalam tugas pokoknya yaitu pembelajaran anak.
Psikologi atau teori belajar yang
berkembang pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga rumpun, yaitu :
Teori Disiplin Mental atau Teori Daya (Faculty Theory), Behaviorisme,
dan Organismik atau kognitif Gestalt Field.
a. Menurut Teori Daya (Disiplin Mental)
Menurut teori ini, sejak
kelahirannya anak/individu telah memiliki otensi-potensi atau daya-daya
tertentu (faculties) yang masing-masing memiliki fungsi tertentu,
seperti potensi/daya mengingat, daya berfikir, daya mencurahkan pendapat, daya
mengamati, daya memecahkan masalah, dan daya-daya lainnya. Daya-daya tersebut
dapat dilatih agar dapat berfungsi dengan baik. Daya-daya yang telah terlatih
dapat dipindahkan dalam pembentukan daya-daya lain. Pemindahan (transfer)
ini mutlak dilakukan melalui latihan (drill), karena itu pengertian
mengajar menurut teori ini adalah melatih peserta didik dalam daya-daya itu,
cara mempelajarinya pada umumnya melalui hapalan dan latihan.
b. Teori Behaviorisme
Rumpun teori ini mencakup tiga
teori, yaitu koneksionisme atau teori asosiasi, teori kondisioning, dan teori
reinforcement (operant conditioning). Behaviorisme berangkat dari asumsi
bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu
ditentukan oleh lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat). Teori ini tidak
mengakui sesuatu yang sifatnya mental, perkembangan anak menyangkut hal-hal
nyata yang dapat dilihat dan diamati. Teori Asosiasi adalah teori yang awal
dari rumpun Behaviorisme. Menurut teori ini kehidupan tunduk kepada hokum
stimulus-respon atau aksi-reaksi. Belajar merupakan upaya untuk membentuk
hubungan stimulus-respon sebanyak-banyaknya.
c. Teori Organismik (Gestalt)
Teori ini mengacu pada pengertian
bahwa keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan
kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai makhluk organism yang
melakukan hubungan timbale balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan
ini dijalin oleh stimulus dan respon. Menurut teori ini, Stimulus yang hadir
itu diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan interaksi
dengannya dan seterusnya terjadi perbuatan belajar. Disini peran guru adalah
sebagai pembimbing bukan penyampai pengetahuan, siswa berperan sebagai
pengelola bahan pelajaran.
Belajar menurut teori ini bukanlah
menghapal akan tetapi memecahkan masalah, dan metoda belajar yang dipakai
adalah metoda ilmiah dengan cara anak dihadapkan pada berbagai permasalahan,
merumuskan hipotesis atau praduga, mengumpulkan data yang diperlukan untuk
memecahkan masalah, menguji hipotesis yang telah dirumuskan, dan pada akhirnya
para siswa dibimbing untuk menarik kesimpulan-kesimpulan. Teori ini banyak
mempengaruhi praktek pengajaran di sekolah karena memiliki prinsip sebagai
berikut :
1) Belajar berdasarkan keseluruhan
2) Belajar adalah pembentukan
kepribadian
3) Belajar berkat pemahaman
4) Belajar berdasarkan Pengalaman
5) Belajar adalah suatu proses
perkembangan
6) Belajar adalah proses berkelanjutan
D.
Landasan
Sosial Budaya
Landasan sosial
budaya ternyata bukan hanya semata-mata digunakan dalam pengembangan kurikulum
pada tingkat nasional, melainkan juga bagi guru dalam pembinaan kurikulum
tingkat sekolah atau bahkan tingkat pengajaran. Terutama dalam menghadapi
situasi pendidikan dewasa ini, dimana tuntutan masyarakat akan hasil pendidikan
lebih tinggi. Dengan demikian masyarakat lebih menginginkan agar hasil
pendidikan lebih baik.[3]
Landasan sosiologis menyangkut
kekuatan-kekuatan sosial di masyarakat. Kekuatan-kekuatan itu berkembang dan
selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman. Kekuatan itu dapat berupa
kekuatan yang nyata maupun yang potensial, yang berpengaruh dalam perkembangan
kebudayaan seirama dengan dinamika masyarakat.
1.
Perkembangan Peserta Didik dan Kurikulum
Faktor kebudayaan merupakan bagian
yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan :
a. Individu lahir tak berbudaya, baik
dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan lain sebagainya.
b. Kurikulum dalam suatu masyarakat
pada dasarnya merupakan refleksi dari cara orang berpikir, berasa,
bercita-cita, atau kebiasaan-kebiasaan.
c. Seluruh nilai yang telah disepakati
masyarakat dapat pula disebut kebudayaan. Kebudayaan adalah hasil dari cipta,
rasa, karsa manusia yang diwujudkan dalam tiga gejala, yaitu:Ide, konsep,
gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain-lain.Kegiatan, yaitu tindakan
berpola dari manusia dalam bermasyarakat.Benda hasil karya manusia.
2. Masyarakat dan Kurikulum
Mayarakat adalah suatu kelompok
individu yang diorganisasikan mereka sendiri ke dalam kelompok-kelompok
berbeda. Kebudayaan hendaknya dibedakan dengan istilah masyarakat yang
mempunyai arti suatu kelompok individu yang terorganisir yang berpikir tentang
dirinya sebagai suatu yang berbeda dengan kelompok atau masyarakat lainnya.
Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri, dengan demikian yang
membedakan masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya adalah kebudayaan.
Hal ini mempunyai implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan pemikiran
seseorang, reaksi terhadap perangsang sangat tergantung kepada kebudayaan di
mana ia dibesarkan.
Perubahan sosial budaya dalam suatu
masyarakat akan mengubah pula kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat juga
dipenuhi oleh kondisi dari masyarakat itu sendiri. Adanya perbedaan antara
masyarakat satu dengan masyarakat lainnya sebagian besar disebabkan oleh
kualitas individu-individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut. Di sisi
lain kebutuhan masyarakat pada umumnya juga berpengaruh terhadap
individu-individu sebagai sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu,
pengembangan kurikulum yang hanya berdasarkan pada keterampilan dasar saja
tidak akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang bersifat teknologis
dan mengglobal.
Pengembangan kurikulum juga harus
ditekankan pada pengembangan individu yang mencakup keterkaitannya dengan
lingkungan sosial setempat. Lingkungan sosial budaya merupakan sumber daya yang
mencakup kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan uraian di
atas, sangatlah penting memperhatikan faktor kebutuhan masyarakat dalam
pengembangan kurikulum.
E.
Landasan
Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 (K-13) merupakan
kurikulum tetap diterapkan oleh pemerintah untuk menggantikan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan yang telah berlaku
selama kurang lebih 6 tahun. Kurikulum 2013 masuk dalam masa percobaanya pada
tahun 2013 dengan menjadikan beberapa sekolah
menjadi sekolah rintisan. Landasan kurikulum 2013 ada tiga macam, yaitu
landasan filosofis, teoritis, dan yuridis.[4]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Landasan teoritik diantaranya yaitu landasan yuridis,
historis dan landasan ilmu pengetahuan dan teknologi, dimana ketiga hal
tersebut sangat penting dalam kurikulum, baik pada tahap kurikulum sebagai
ide, rencana, pengalaman maupun kurikulum sebagai hasil dalam pengembangannya
harus mengacu atau menggunakan landasan yang kuat dan kokoh, agar kurikulum
tersebut dapat berfungsi serta berperan sesuai dengan tuntutan pendidikan yang
ingin dihasilkan seperti tercantum dalam rumusan tujuan pendidikan nasional
yang telah digariskan dalam UU No.20 Tahun 2003.
2. Landasan filosofis dalam
pengembangan kurikulum ialah rumusan yang didapatkan dari hasil berpikir secara
mendalam, analisis, logis, sistematis dalam merencanakan, melaksanakan, membina
dan mengembangkan kurikulum baik dalam bentuk kurikulum sebagai rencana
(tertulis), terlebih kurikulum dalam bentuk pelaksanaan di sekolah.
3. Penerapan landasan psikologi dalam
pengembangan kurikulum, tiada lain agar upaya pendidikan yang dilakukan dapat
menyesuaikan dari segi materi atau bahan yang harus disampaikan, penyesuaian
dari segi proses penyampaian atau pembelajarannya, dan penyesuaian dari
unsur-unsur upaya pendidikan lainnya.
4. Kurikulum yang di buat hendaknya berlandaskan landasan
Sosial dan budaya, karena apabila seandainya pengembangan kurikulum di Negara
kita tidak mengacu kepada hal tersebut maka pengembangan kurikulum tidak sesuai
dengan perkembangan sosial Negara Indonesia serta budaya masyarakat. Untuk dapat mencapai semua itu maka
seharusnya setiap komponen yang mempegaruhi perkembangan kurikulum tersebut
dapat di sesuaikan dengan kebutuhan dan keseimbangan baik dari peserta didik,
guru maupun unsur-unsur pendukung lain.
5. Kurikulum 2013 (K-13) merupakan
kurikulum tetap diterapkan oleh pemerintah untuk menggantikan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan yang telah berlaku selama kurang
lebih 6 tahun. Kurikulum 2013 masuk dalam masa percobaanya pada tahun 2013 dengan menjadikan beberapa sekolah menjadi sekolah
rintisan. Landasan kurikulum 2013 ada tiga macam, yaitu landasan filosofis,
teoritis, dan yuridis.
[1]
Drs.Hendyat Soetopo, M.Pd dan Drs
Wasty Soemanto, M.Pd, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Hlm.46
[2] Drs.H.Mohammad Ali,M.Pd.,M.A Pengembangan
Kurikulum di Sekolah ,hlm 35
[3]
Drs Mohamad Ali Pengembangan
Kurikulum di Sekolah hlm.17-18
[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_2013
Diakses pada tanggal 29-10-2015 Pada
Jam 06.30 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar